Realitasonline.id - Kabupaten Bogor | Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dijadwalkan mulai berlaku pada 2026 membawa perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, salah satunya melalui pengenalan konsep judicial pardon atau pemaafan hakim. Konsep ini dinilai humanis, namun di sisi lain memunculkan kekhawatiran akan potensi ketidakpastian hukum dan ketidakadilan baru.
Judicial pardon merupakan kewenangan hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti bersalah, tetapi tidak menjatuhkan pidana atau tindakan tertentu. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2023, dengan pertimbangan antara lain ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, situasi saat tindak pidana dilakukan, serta perkembangan setelahnya, dengan mengedepankan asas keadilan dan kemanusiaan.
Pemerintah memandang konsep ini sebagai bentuk humanisasi hukum yang memungkinkan hakim menilai perkara tidak semata-mata dari unsur delik, tetapi juga dari konteks sosial dan personal pelaku. Pendekatan tersebut diharapkan dapat mencegah pemidanaan yang tidak proporsional serta mendukung reintegrasi sosial bagi pelaku tindak pidana ringan.
Baca Juga: Libur Nataru, BRI Siapkan Rp21 Triliun untuk Penuhi Kebutuhan Transaksi Masyarakat
Namun demikian, penerapan judicial pardon juga dinilai memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Salah satunya adalah potensi melemahkan kepastian hukum karena penilaian yang sangat bergantung pada subjektivitas hakim. Perbedaan penafsiran antarpengadilan berisiko menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum, terutama jika tidak disertai kriteria yang jelas dan terukur.
Advokat Alfan Sari, praktisi hukum, menilai konsep judicial pardon masih bersifat abstrak dan rawan diterapkan secara tidak konsisten. Menurutnya, ketidakjelasan standar penerapan tidak hanya merugikan terdakwa yang sulit memprediksi konsekuensi hukum perbuatannya, tetapi juga berpotensi melukai rasa keadilan korban.
“Jika tidak dikawal dengan parameter yang tegas, judicial pardon bisa menciptakan ketidakadilan baru. Pelaku dimaafkan, sementara korban merasa diabaikan,” ujar Alfan Sari.
Dalam praktik peradilan Indonesia, pendekatan serupa sebenarnya pernah diterapkan melalui paradigma hukum progresif dan keadilan restoratif. Salah satu contohnya adalah Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Nomor 172/Pid.B/2006, di mana seorang anak yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana dikembalikan kepada orang tuanya dengan pertimbangan usia dan masa depan pelaku.
Kasus lain yang menjadi sorotan adalah perkara Kakek Masir (71), warga Situbondo, yang dituntut dua tahun penjara karena mencuri burung cendet di kawasan Taman Nasional Baluran. Meski perbuatannya dilakukan berulang, Alfan Sari mempertanyakan sejauh mana peluang penerapan judicial pardon dalam perkara tersebut dan apakah rasa keadilan masyarakat dapat terakomodasi.
Menurut Alfan, penerapan judicial pardon tanpa pengawasan ketat berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mendorong munculnya tindakan main hakim sendiri di tengah masyarakat.
Baca Juga: Polsek Na IX–X Bersihkan Gorong-gorong Antisipasi Banjir di Jalinsum
Ia menekankan bahwa idealnya judicial pardon harus disertai sistem pengawasan berlapis, keterbukaan alasan putusan, serta mekanisme evaluasi berkala. Pelibatan masyarakat sipil dan ahli hukum dalam pengawasan dinilai penting untuk menjaga akuntabilitas tanpa mengurangi independensi hakim.
“Tantangan ke depan adalah menyeimbangkan fleksibilitas demi keadilan substantif dengan kepastian hukum sebagai fondasi negara hukum,” jelasnya.
Di akhir pernyataannya, Alfan Sari menegaskan bahwa kewenangan hakim untuk menghukum atau mengampuni harus tetap berada dalam koridor keadilan yang berimbang.