"Kalau copy paste, Anda sudah berhenti jadi wartawan!" kata Khairul Jasmi, seorang penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dalam kelas Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Sumut, di Grand Inna Hotel Medan.
Ucapan yang dilontarkannya di menit ke 2:09 dalam kelas itu membuka keran yang mengalirkan air panas—sehingga membuat peserta SJI terperenjat. Betapa tidak, saat ini copy paste justru menjadi paradoks. Pada prinsipnya, dunia kepenulisan-kewartawanan tidak menghendaki jiplak-menjiplak karya. Namun, prinsip tersebut sering dikhianati dengan berbagai alasan seperti tuntutan kecepatan penerbitan, keterbatasan keterampilan menulis, dan lainnya.
Pak KJ, begitu sapaan akrab jurnalis ulung Khairul Jasmi langsung membuka kelas dengan ucapan nyelekit. Rupanya, tindakan copy paste bisa memecat diri seorang wartawan. Ketika keran air panas itu dibuka oleh Pak KJ, para peserta pun merespons dengan berbagai ekspresi: ada yang tersenyum kecut layaknya korban yang karyanya selalu di-copas (copy paste), ada juga yang tersenyum malu seperti menandakan dialah pelakunya, ada juga yang langsung serius menatap tajam Pak KJ.
Pak KJ pun menetralisir suasana. Tetap, copas tak boleh dilakukan oleh wartawan, apalagi mengarang. Kasus penjiplakan karya tidak hanya terjadi di dunia akademik, tapi di dunia jurnalisme, bahkan menjadi paradoks. Dalam konteks jurnalistik, wartawan tentu sering sekali mendapat berita rilis dan berita lainnya, tapi harus diolah lagi.
"Boleh ambil tapi diolah lagi. Bertolak dari terminal fakta, data, dan angka. Jangan mengarang," imbuhnya.
Ia kembali memaparkan bahwa bahasa tulis jurnalis ibarat pedang di tangan pesilat, menyatu, tidak memberatkan. "Bahasa adalah kawan setia wartawan," kata komisaris Semen Padang itu.