Sungguh biadab! Lelaki tua itu telah mengguna-gunaiku. Aku bahkan bersedia telanjang dihadapannya. Pak tua itu ternyata seorang dukun santet.
Realitasonline.id| Entah mengapa aku mengiyakan saja ketika kepala dinas menawarkan mutasi kerja di daerah terpencil itu dengan embel-embel kepala sekolah baru.
Sebagai pendidik aku tidak berpikir dua kali, karena yang ada di jiwaku hanya sebuah dedikasi dan pengabdian.
Tetapi kenyataannya di lingkungan baru itu akan benar-benar menjadi makhluk terasing. Adaptasi yang aku lakukan semaksimal mungkin ternyata jauh dengan kenyataan lapangan.
Aneh, memang jika masyarakat setempat bukan memandangku sebagai pendidik putra putrinya, namun justru menjadi orang yang patut dicurigai.
Baca Juga: Cerpen: Akhir Hayat Seorang Dukun Santet
Buktinya, semua gerak gerikku terus diawasi. Ketika aku berangkat kerja, ke warung untuk berbelanja, mandi di sungai (karena jarang sekali sumur), mereka selalu memgintipku dari dalam rumah masing-masing.
Yang agak memprihatinkan, saat aku berkunjung ke rumah murid-muridku, anak-anak yang ketika di sekolah biasa-biasa saja itu serta merta ngumpet entah kemana.
Sungguh, aku merasa kesulitan untuk membuka sifat primitif mereka. Lucunya, di sekolah kami hanya ada dua orang guru plus seorang penjaga, untuk mengurus sekian puluh murid.
Keterpencilan daerah itu kian menjadi-jadi tatkala gelapnya malam mulai membayang. Jalan setapak yang berliku-liku di pinggang perbukitan, pemukiman penduduk yang satu sama lain saling berjauhan, belum adanya listrik, semua melengkapi keterkucilan desa primitif itu.
Satu-satunya kendaraan yang ada cuma kuda tunggang, namun tidaklah lucu sebagai perempuan jika aku naik hewan piaraan itu terlebih dengan mengenalkan pakaian dinasku.
Baca Juga: Kisah Nyata Romantika Misteri: Santet Kiriman, Mata Suamiku Jadi Korban
Begitu aku pulang kerja, rutinitas yang bisa kulakukan cuma tidur, menulis persiapan mengajar, jalan-jalan di sekitar rumah dinas, atau sekali-kali berkunjung ke tetangga yang paling berdekatan dengan tempat tinggalku.
Ada tiga rumah yang berdekatan dengan pemondokanku. Rumah pertama milik seorang petani miskin yang anaknya juga menjadi muridku.