Rumah kedua, milik seorang janda dan yang terakhir milik laki-laki tua yang di mataku agak terkesan misterius.
Betapa tidak penampilannya tertutup, jika kusapa pak tua itu tak pernah membalas kecuali matanya yang melotot tajam ke arahku.
Yang lebih mengherankan lagi, kenapa rumah laki-laki tua itu pernah dikunjungi seseorang. Jika malam rumah itu gelap gulita sepertinya tak bertuan.
Saat kutanyakan pada tetangga lain perihal dirinya, orang seakan mengalihkan pembicaraan.
Yang membuatku penasaran, rumah terpencil itu kadangkala didatangi orang-orang yang bergaya kota, seperti wanita-wanita cantik, atau bapak-bapak bergaya pengusaha.
Di puncak penasaranku akhirnya aku nekad bertandang ke rumah pak tua itu ya sekedar perkenalan.
Permisi, Pak!" kataku di depan pintu rumahnya. Berkali-kali aku mengulangi salam itu. Ia tak muncul juga.
Baru ketika aku akan balik melangkah, pria tua itu keluar dan berdiri di depan pintu.
"Ada apa?" ujarnya bernada ketus dan sorot mata sinis, tajam menikam.
Aku tersenyum dan membungkuk santun, meski pak tua itu tak tampak bersahabat sedikitpun.
"Hanya ingin silaturahmi, Pak," jawabku. Ia mengangguk. Dari wajahnya dapat kubaca bahwa ia mempersilahkanku masuk.
Begitu ada di ruang tamunya, aku benar- benar terkejut. Semua perabotan yang ada tampak kusam dan berdebu.
Di beberapa sudut ruangan ada benda-benda yang ganjil di mataku. Misalnya ada tanduk kerbau, anak- anak panah, bulu burung hantu, atau boneka kayu yang berwajah menakutkan! Ada pula burung hantu hidup, burung gagak, dan astaga tulang-tulang serta tengkorak manusia.
Tapi aku berusaha untuk menghibur diri bahwa tulang-tulang itu hanya tulang binatang termasuk tengkorak itu tak ubahnya peraga alat belajar anak-anak di sekolahku.
